Sasuke Vs Kakasi

Selasa, 15 Januari 2013

PENGHITUNGAN PAJAK dan GUGATAN


Perubahan tarif
Pemotongan PPh pasal 21 untuk pegawai tetap menggunakan tarif Pasal 17 untuk wajib pajak orang pribadi. Tahun 2009, tarif pasal 17 bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri mengalami perubahan seiring dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008.
Biaya jabatan dan Iuran pensiun
Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
Tahun 2009 ternyata tahun penuh insentif bagi Wajib Pajak. Insentif yang diberikan oleh Pemerintah ini tidak main-maian. Contohnya adalah Biaya Jabatan dan Biaya Pensiun. Berdasarkan PMK-250/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008, telah ditetapkan Biaya Jabatan dan Biaya Pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto oleh Pegawai tetap atau Pensiunan dalam menghitung PPh terhutang atas gaji dan/atau pensiun serta tunjangan lain yang terkait dengan gaji/pensiun atau pekerjaannya. Semula Maksimum Biaya Jabatan dan Biaya Pensiun yang sebesar Rp. 108.000 per bulan atau Rp. 1.296.000 per tahun (untuk Biaya jabatan) dan Rp. 36.000 per bulan atau Rp. 432.000 per tahun (untuk biaya pensiun) telah ada sejak tahun 1999. Kemudian baru pada tahun 2009 dirubah menjadi Rp. 500.000 per bulan atau Rp. 6.000.000 per tahun (untuk biaya jabatan) dan berdasarkan Peraturan menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 71/PMK.02/2008, Pasal 5 ayat 2 : “Besarnya pengembalian nilai tunai iuran pensiun sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 dan pasal 4 sekurang-kurangnya sebesar Rp 200.000 (Dua ratus ribu rupiah) atau Rp. 2.400.000 per tahun (untuk biaya pensiun). Sedangkan prosentasenya sendiri tetap yaitu 5% dari penghasilan bruto baik teratur maupun yang tidak teratur.
Yang dimaksud dengan Biaya jabatan maximum /setinggi-tingginya Rp. 6.000.000 adalah apabila penghasilan bruto di kali 5 % menghasilkan biaya jabatan melebihi 6 juta maka yg digunakan adalah yang tertinggi sebesar 6 juta tapi kalau sebaliknya persentase biaya jabatan setelah dikalikan pengh.bruto dibawah 6 juta berarti yang digunakan adalah yang sebenarnya. sepanjang dia bekerja setahun penuh.
Penghasilan Tidak kena Pajak (PTKP) 
Salah satu pusat perubahan yang dilakukan oleh undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah perubahan dalam besarnya penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Mulai tahun 2009, besarnya PTKP adalah:
1.      Wajib Pajak sendiri = Rp 15.840.000
2.      Status kawin =  Rp 1.320.000
3.      Untuk istri yang penghasilannya digabung = Rp 15.840.000
4.      Tambahan untuk satu orang tanggungan dengan maksimal 3 orang tanggungan = Rp 1.320.000
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak mulai tahun 2009
  • Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
    Lapisan PKP <= 50.000.000 dikenakan 5%
    Lapisan PKP > 50.000.000 - 250.000.000 dikenakan 15%
    Lapisan PKP > 250.000.000 - 500.000.000 dikenakan 25%
    Lapisan PKP > 500.000.000 dikenakan 30%
  • Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%
PENGHITUNGAN PPh PASAL 21
1.      PPh pasal 21 harian
Contoh:
Anwar bekerja sebagai tukang batu. Ia bekerja selama 20 hari dan menerima upah sehari sebesar Rp 100.000. Upah Minimum Regional yang berlaku di Propinsi Jawa timur adalah sebesar Rp 570.000 sebulan. Tono menikah dan mempunyai 1 anak. Hitung:
PPH pasal 21 terutang!
Jawab:
PPh pasal 21 harian terutang :
Upah sehari                                                     Rp 100.000
Pengurang:
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
1.      Untuk WP sendiri   Rp 15.840.000
2.      Istri                          Rp  1.320.000
3.      Anak                       Rp  1.320.000 +               
        Rp 17.480.000
PTKP : 360 hari = (Rp 17.480.000:360)=       Rp   48.555 -
 Penghasilan Kena Pajak Sehari                      Rp   51.445
PPh pasal 21 Terutang sehari 5% x Rp 51.445 = Rp 2.572,25
2.      PPh Pasal 21 Mingguan
Contoh:
Abdullah bekerja di sebuah perusahaan PT. Indah Mulya dengan menerima gaji Rp 250.000 per minggu. Abdullah sudah menikah dan mempunyai 1 anak. Hitung besarnya PPh Pasal 21 yang harus dibayar Abdullah setiap minggunya!
Jawab:
Gaji sebulan 4 x Rp 250.000                                                   Rp 1.000.000
Pengurangan:
Biaya jabatan 5% x Rp 1.000.000                                          Rp       50.000 –
Penghasilan netto sebulan                                                       Rp     950.000
Penghasilan netto setahun Rp 950.000 x 12 bulan                 Rp 11.400.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
1.      Untuk WP sendiri   Rp 15.840.000
2.      Istri                          Rp  1.320.000
3.      Anak                       Rp  1.320.000 +               
                                                            Rp 17.480.000-
                                                                                        -Rp   6.080.000
Penghasilan Kena Pajak setahun                                                         -
PPh Pasal 21 setahun 5% x –Rp 6.080.000                                        -
PPh Pasal 21 sebulan                                                                          -
PPh Pasal 21 atas gaji mingguan                                                         -
Jadi dalam hal ini Abdullah tidak terbebani untuk membayar pajak karena jumlah penghasilannya di bawah standar tariff pemungutan pajak.
3.      PPh Pasal 21 Bulanan
Mungkin sudah cukup banyak tentang pembahasan pph pasal 21, namun sepertinya saya juga masih perlu untuk meringkasnya lagi, agar lebih mudah dipahami lagi. Dan akan lebih jelas lagi kalau dibuat juga contoh penghitungannya. Untuk itu pada kesempatan ini, saya akan memulai untuk memahami tentang penghitungan pph pasal 21 melalui beberapa contoh-contoh penghitungan. Sebelum sampai pada contoh, saya akan meresum format ringkasnya sebagai berikut: Format penghitungan PPh Pasal 21 dengan gaji bulanan
Format penghitungan PPh Pasal 21 dengan gaji bulanan
a.      Gaji sebulan dan tunjangan lainnya        xxx
b.      Pengurangan :               
1.          Biaya Jabatan:                      xx
2.          Iuran pensiun:                        xx +
 xx -
c.      Penghasilan netto sebulan (a-b)                xx
d.      Penghasilan netto setahun (12 x c)            xx
e.      PTKP setahun                                             xx -
f.        Penghasilan Kena Pajak setahun (d-e)     xx
g.      PPh Pasal 21 terutang (tarif x f)                  xx
h.      PPh Pasal 21 sebulan ( g : 12)                   xx        
Contoh:
Ahmad Zakaria pada tahun 2009 bekerja pada perusahaan PT Zamrud Abadi dengan memperoleh gaji sebulan Rp 2.500.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000,00. Ahmad menikah tetapi belum mempunyai anak. Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut
a.      Gaji sebulan dan tunjangan lainnya                                                         Rp 2.500.000
b.      Pengurangan :
1.          Biaya Jabatan 5% x Rp 2.500.000:                      Rp 125.000
2.          Iuran pensiun:                                                      Rp 100.000+
   Rp   225.000 -
c.      Penghasilan netto sebulan (a-b)                                                              Rp   2.275.000
d.      Penghasilan netto setahun (12 x c)   Rp 2.275.000 x 12                        Rp 27.300.000
e.      PTKP setahun 
1. WP  : Rp 15.840.000
2. Istri : Rp    1.320.000                                        
                                                Rp 17.160.000 -
f.        Penghasilan Kena Pajak setahun (d-e)                                                 Rp10.140.000
g.      PPh Pasal 21 terutang (tarif x f) = 5% x Rp 10.140.000 = Rp 507.000
h.      PPh Pasal 21 sebulan ( g : 12) = Rp 507.000 / 12 = Rp 42.250           
4. PPh Pasal 21 atas Gaji dan THR
       Sebagaimana kebiasaan yang sering terjadi, dimana setiap menjelang hari raya idul fitri didahului dengan pembagian THR.  Bahkan pembagian thr ini juga ikut diatur dalam keputusan menteri tenaga kerja untuk menjaga hak-hak dari pegawai. Nah atas penerimaan yang sifatnya tidak rutin diterima bulanan ini, maka diperlukan proses yang berbeda dalam menghitung pph pasal 21 nya.
Contoh:
Joko Qurnain kawin) bekerja pada PT Qolbu dengan memperoleh gaji sebesar Rp 2.000.000 sebulan. Dalam tahun yang bersangkutan Joko menerima THR sebesar Rp 500.000. Setiap bulannya Joko membayar iuran pensiun ke dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp 30.000/bulan.
Dengan demikian penghitungan PPh Pasal 21 terutangnya adalah sebagai berikut.
Tahap I: PPh pasal 21 atas gaji
Gaji                                                                             Rp 2.000.000
Pengurangan (5% x Rp 2.000.000)  Rp 100.000
Iuran pensiun                                    Rp   30.000 +
                                                                                    Rp     130.000-
Penghasilan netto sebulan                                           Rp  1.870.000
Penghasilan netto setahun (12 x Rp 1.870.000)         Rp22.440.000
1.      WP sendiri      Rp 15.840.000
2.      WP Kawin      Rp   1.320.000 +
Rp 17.160.000-
Penghasilan Kena Pajak setahun                                 Rp   5.280.000
PPh Pasal 21 terutang setahun :
5% x Rp 5.280.000                                                  = Rp 264.000
Tahap II : PPh atas gaji dan THR
Gaji                                                                             Rp 2.000.000
Pengurangan (5% x Rp 2.000.000)  Rp 100.000
Iuran pensiun                                    Rp   30.000 +
                                                                                    Rp     130.000-
Penghasilan netto sebulan                                           Rp  1.870.000
Penghasilan netto setahun (12 x Rp 1.870.000)         Rp22.440.000
THR                                                                            Rp     500.000 +
Jumlah                                                                         Rp22.940.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) setahun:
1.      WP sendiri      Rp 15.840.000
2.      WP Kawin      Rp   1.320.000 +
Rp 17.160.000-
Penghasilan Kena Pajak setahun                     Rp   5.780.000
PPh Pasal 21 terutang setahun :
5% x Rp 5.780.000                             = Rp 289.000
PPh atas THR
(Rp 289.000 – Rp 264.000)                = Rp 25.000
5. PPh Pasal 21 atas Rapel
Ada kalanya pegawai menerima kenaikan gaji di tahun berjalan, dan keputusan kenaikan gaji itu berlaku surut, sehingga dengan adanya kenaikan gaji berlaku surut tersebut menyembabkan adanya pembayaran  kekurangan gaji untuk bulan-bulan sebelumnya yang biasa disebut dengan rapel. Atas rapel ini tentunya juga merupakan objek PPh Pasal 21, sehingga juga perlu dihitung berapa besarnya PPh Pasal 21 atas uang rapel ini.
Contoh:
Bagus bekerja pada perusahaan PT. Jaya Mandiri  dengan memperoleh gaji sebulan sebesar Rp. 7.000.000,- dan ia membayar iuran pensiun sebesar Rp 50.000,- Bagus menikah tapi belum mempunyai anak. Kemudian pada bulan Juli 2010 ia menerima kenaikan gaji menjadi Rp.14.000.000,-sebulan. Kenaikan tersebut berlaku surut sejak bulan Januari 2010 dengan adanya kenaikan gaji yang berlaku surut tersebut maka Bagus menerima rapel sejumlah Rp 7.000.000 x 7 bulan = Rp 49.000.000 (kekurangan gaji bulan Januari – Juli 2010). Hitunglah PPh Pasal 21 terutang ?
Jawaban:
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang
Gaji sebulan                                                                                        Rp 7.000.000
Pengurangan:
Biaya Jabatan 5% x Rp 7.000.000      Rp 350.000
Iuran pensiun                                      Rp   50.000+
                                                                                                            Rp     400.000 –
Penghasilan netto sebulan                                                                   Rp  6.600.000
Penghasilan netto disetahunkan 12 x Rp 6.600.000                           Rp79.200.000
PTKP setahun:
1.      WP sendiri      Rp 15.840.000
2.      WP Kawin      Rp   1.320.000 +
 Rp 17.160.000-
Pendapatan Kena Pajak                                                                      Rp 62.040.000
PPh Pasal 21 terutang :
5% x Rp .50.000.000 = Rp  2.500.000
15% x Rp12.040.000 = Rp  1.806.000+
                                       Rp 4.306.000
PPh pasal 21 sebulan = Rp 4.306.000 : 12 = Rp 358.834
PPh pasal 21 atas rapel
Gaji                                                                                                     Rp 14.000.000
Pengurangan:
Biaya jabatan 5% x Rp 15.000.000                                                                                       
(Biaya jabatan diperkenankan)           = Rp 500.000
Iuran pensiun                                      =Rp    50.000  +
                                                                                                            Rp    550.000-
Netto sebulan                                                                                      Rp 13.450.00
Netto di setahunkan 12 x Rp 13.450.000                                           Rp 161.400.000
PTKP:
1.      WP sendiri      Rp 15.840.000
2.      WP Kawin      Rp   1.320.000 +
 Rp 17.160.000-
Pendapatan Kena Pajak                                                                      Rp 144.240.000
PPh pasal 21 :
            5% x Rp 50.000.000     = Rp  2.500.000
            15% x Rp 144.190.000 = Rp21.628.500+
                                                      Rp 24.128.500
PPh pasal 21 terutang Rp 24.128.500 / 12 = Rp 2.010.708
PPh pasal 21 Bulan Januari sampai Juli 2010 = Rp 2.010.708 x 7 = Rp 14.074.956
PPh pasal 21 yang sudah dipotong Januari sampai Juli 2010 = Rp 358.834 x 7 = Rp 2.511.838
PPh pasal 21 untuk rapel Rp 14.074.956 - Rp 2.511.838 = Rp 11.563.118
Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan.
Sifat pengenaan PBB
Pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Subjek Pajak
Orang atau Badan yang secara nyata :
1.      Mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau;
2.      Memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau;
3.      Memiliki, menguasai atas bangunan, dan/atau;
4.      Memperoleh manfaat atas bangunan.
Hak-hak Wajib Pajak dalam UU PBB
1.      Memperoleh formulir SPOP secara gratis pada setiap Kantor Pelayanan PBB, Kantor Penyuluhan Pajak, atau tempat lain yang ditunjuk;
2.      Memperoleh penjelasan, keterangan tentang tata cara pengisian maupun penyampaian kembali SPOP pada Kantor Pelayanan PBB/Kantor Penyuluhan Pajak;
3.      Memperoleh tanda terima pengembalian SPOP dari Kantor Pelayanan PBB/Kantor Penyuluhan Pajak;
4.      Memperbaiki / mengisi ulang SPOP apabila terjadi kesalahan dalam pengisian dengan melampirkan foto kopi bukti yang sah (sertifikat tanah, akta jual beli tanah, dan lain-lain);
5.      Menunjuk orang/pihak lain selain pegawai Direktorat Jenderal Pajak dengan surat kuasa khusus bermeterai, sebagai kuasa Wajib Pajak untuk mengisi dan menandatangani SPOP;
6.      Mengajukan permohonan tertulis mengenai penundaan penyampaian SPOP sebelum batas waktu dilampaui dengan menyebutkan alasan-alasan yang sah;
7.      Memperoleh tanda terima SPPT;
8.      Memperoleh Surat Tanda Terima Setoran (STTS) dan Tanda Terima Sementara (TTS);
9.      Mengajukan keberatan dan pengurangan atas penetapan PBB.
Kewajiban-kewajiban Wajib Pajak dalam UU PBB
1.      Mendaftarkan Objek Pajak;
2.      Mengisi SPOP dengan jelas, benar, dan lengkap;
3.      Menyampaikan kembali SPOP yang telah diisi Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan PBB atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat paling lambat 30 hari setelah formulir SPOP diterima;
4.      Melaporkan perubahan data Objek Pajak/Wajib Pajak kepada Kantor Pelayanan PBB atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat dengan cara mengisi SPOP sebagai perbaikan/pembetulan SPOP sebelumnya.
Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP)
Surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak menurut ketentuan undang-undang PBB
Arti mengisi SPOP dengan jelas, benar, dan lengkap
Jelas, dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, yang dapat merugikan negara maupun Wajib Pajak sendiri.
Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sesuai dengan kolom-kolom /pertanyaan yang ada pada SPOP.
Lengkap, berarti terisi semua dan ditandatangani beserta lampirannya.
Objek yang tidak dikenakan (dikecualikan) PBB
1.      Yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang : ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
2.      Yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
3.      Yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
4.      Yang digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
5.      Yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Objek daripada PBB adalah Bumi dan bangunan yang sifat penarikannya periodik dengan tarif 0,5%
Cara menghitung:
PBB = tariff pajak x NJKP
        = 0,5% x (prosentase NJKP x (NJOP-NJOPTKP)
Dengan cara penghitungan sebagai berikut:
NJOP : Bumi Rp……….
             Bangunan Rp……+
Total NJOP          Rp……..
NJOPTKP            Rp……..
NJKP                   Rp……..
Cara penghitungan Absente :
PBB Biaya pemungutan 10% = Rp…….
                                Sisa 90% = Rp…….Pusat 10%
                                Daerah 90% = Rp………daerah Tingkat I 20%
                                Daerah Tingkat II 80%
Catatan:
-          NJOPTKP = Max Rp 12.000.000
Jawa timur Rp 8.000.000
-          NJOP = Nilai Jual Objek Pajak
-          NJOPTKP = Nilai Jual Pajak Tidak Kena Pajak
-          NJKP = Nilai Jual Kena Pajak
Contoh penghitungan PBB
H. Sobar mempunyai tanah seluas 600 m2, dengan harga pasar Rp.300.000,- meter persegi. Di atas tanah dibangun rumah dengan harga jual Rp 120.000.000, Pagar sepanjang 50 m2 dengan harga Rp 100.000/m2. NJOPTKP di daerah Jawa timur sebesar Rp 8.000.000. Hitung PBB dan Tarif Absentenya?
Jawab:
NJOP : Bumi 600m2 x Rp 300.000                Rp 180.000.000
             Bangunan Rumah                              Rp 120.000.000
             Pagar 50 m2 x Rp 100.000                Rp      5.000.000 +
                   Total NJOP                                        Rp 305.000.000
                   NJOPTKP                                          Rp      8.000.000 –
                                                                              Rp 297.000.000
                  PBB = 0,5% x 20% x Rp 297.000.000
                           = Rp 297.000
      Cara Penghitungan Absente:
      Rp 297.000
            Biaya Pemungutan 10%  = Rp 29.700
            Sisa 90% = Rp267.300
                        10% = Rp 26.730
                        90% = Rp 240.570      Untuk Daerah I (Prop) 20% = Rp 48.114
                                                            Untuk daerah II (Kab/kota) 80% = Rp192.456
Bea Peralihan hak Atas Tanah (BPHTB)
Sesuai dengan Pasal 5 UU BPHTB, tari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan tarif tunggal sebesar 5%. Penentuan tarif tunggal ini dimaksudkan untuk kesederhanaan dan kemudahan penghitungan.
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu
a.    Jual beli adalah harga transaksi;
b.   Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c.    Hibah adalah nilai pasar;
d.   Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e.    Waris adalah nilai pasar;
f.    Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g.   Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h.   Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i.     Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j.     Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k.   Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l.     Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n.   Hadiah adalah nilai pasar;
o.   Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang.
Cara menghitung BPHTB terutang
BPHTB terutang = 5% x NPOP Kena Pajak;
NPOP Kena Pajak = NPOP – NPOPTKP.
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP diberikan untuk setiap perolehan hak sebagai pengurang penghitungan BPHTB terutang.
NPOPTKP ditetapkan secara regional (setiap kabupaten/kota) paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP regional paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Besarnya NPOPTKP ditetapkan oleh Kepala Kanwil DJP atas nama Menteri Keuangan untuk setiap kabupaten/kota dengan mempertimbangkan pendapat Pemda setempat. Ketentuan besarnya NPOPTKP diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 113 Tahun 2000.
Perolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh ahli waris dari pewaris, yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Saat pewaris meninggal dunia, pada hakikatnya telah terjadi pemindahan hak dari pewaris kepada ahli waris. Saat terjadinya peristiwa hukum yang mengakibatkan pemindahan hak tersebut merupakan saat perolehan hak karena waris menjadi objek pajak. Mengingat ahli waris memperoleh hak secara cuma-cuma, maka adalah wajar apabila perolehan hak karena waris tersebut termasuk objek pajak yang dikenakan pajak.
Perolehan hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia. Pada umumnya penerima hibah wasiat adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga dengan pemberi hibah wasiat, atau orang pribadi yang tidak mampu. Disamping orang pribadi, penerima hibah wasiat juga berupa badan yang biasanya mempunyai kegiatan pelayanan kepentingan umum di bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan, yang semata-mata tidak mencari keuntungan.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang.
Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris dan hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Contoh:
Tuan Doni memperoleh tanah dan bangunan yang terletak dikabupaten Sukamaju pada tanggal
10 Maret 2009 dengan Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP) Rp 310.000.000,-. Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan dengan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat.
Termasuk suami /istri. Untuk Kabupaten Madiun ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,- dan
berdasarkan hasil pemerikasaan, ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang
menunjukkan bahwa Nilai Perolehan Pajak sebenarnya adalah Rp. 420.000.000,-.
Berapakah besarnya BPHTB yang terutang dan juga denda yang diterima Pak Doni  ?
Jawab:
BPHTB Yang Terutang
NPOP              Rp 310.000.000
NPOPTKP      Rp   60.000.000-
NPOPKP        Rp 250.000.000
BPHTB Yang Terutang =Rp 250.000.000 x 5 %
                                       = Rp 12.500.000
BPHTB Kurang bayar
NPOP              Rp 420.000.000
NPOPTKP      Rp   60.000.000-
NPOPKP        Rp 360.000.000
BPHTB yang seharusnya terutang Rp 360.000.000 x 5% = Rp 18.000.000
BPHTB Yang telah dibayar                                                = Rp 12.500.000-
BPHTB Yang Kurang bayar                                               Rp  5.500.000
Sanksi administrative berupa bunga dari 10 Maret 2009 sampai dengan 30 Desember 2009 = 10 bulan x 2% x Rp 5.500.000 = Rp 1.100.000
Jadi jumlah yang harus dibayar menurut SKBKB = Rp 5.500.000 + Rp 1.100.000 = Rp 6.600.000

BAB III
HUKUM ACARA PENGADILAN PAJAK
A.    Pendahuluan
Seperti kita ketahui, sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesment di mana dengan sistem ini Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan melunasi sendiri pajak yang terutang. Perhitungan pajak yang terutang ini didasarkan pada ketentuan perpajakan yang berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Dirjen Pajak.
Di sisi lain, otoritas pajak, dalam hal ini DJP, diberikan tugas untuk melakukan pengujian dan pengawasan terhadap kepatuhan masyarakat Wajib Pajak terhadap ketentuan perpajakan. Dalam konteks inilah kita bisa memahami mengapa perlu dilakukan pemeriksaan pajak oleh DJP kepada sebagian Wajib Pajak.
Hasil pemeriksaan pada umumnya berbentuk surat ketetapan pajak (SKP) di mana SKP ini berfungsi untuk melakukan koreksi atas perhitungan yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau bisa juga untuk mengkonfirmasi kebenaran perhitungan oleh Wajib Pajak. Jenis-jenis SKP ini adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).
Nah, dalam proses penetapan pajak melalui pemeriksaan ini sering timbul sengketa pajak antara Wajib Pajak dan otoritas pajak. Sengketa ini bisa disebabkan oleh perbedaan penafsiran atas ketentuan perpajakan, perbedaan pemahaman atas ketentuan perpajakan, perbedaan sudut pandang dalam menilai suatu fakta, bisa juga karena ketidaksepakatan dalam hal proses pembuktian. Untuk menyelesaikan sengketa seperti ini, Undang-undang KUP memberikan ruang kepada Wajib Pajak untuk melakukan keberatan.
B.     Dasar Hukum
a.       Pasal 25, 26, dan 26A Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP)
b.       Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.03/2007 Tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan
C.    Ruang Lingkup
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan, dengan menyampaikan surat keberatan, hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
1.      Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
2.      Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
3.      Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
4.      Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
5.      Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
D.    Penyampaian Surat Keberatan
Surat keberatan disampaikan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan melalui;
1.      penyampaian secara langsung;
2.      pos dengan bukti pengiriman surat; atau
3.      cara lain.
Termasuk dalam pengertian penyampaian surat keberatan secara langsung adalah penyampaian surat keberatan melalui Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dalam wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
Penyampaian surat keberatan melalui cara lain meliputi:
1.      melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, atau
2.      e-filing melalui ASP.
Penyampaian surat keberatan secara langsung diberikan tanda penerimaan surat dan penyampaian surat keberatan dengan e-filling melalui ASP diberikan Bukti Penerimaan Elektronik.
Bukti pengiriman surat melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir atau tanda penerimaan surat secara langsung serta Bukti Penerimaan Elektronik menjadi bukti penerimaan surat keberatan.
E.     Syarat Permohonan
Pengajuan keberatan yang dituangkan dalam bentuk surat keberatan harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1.      diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
2.      mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;
3.      1 (satu) surat keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu) pemotongan Pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak.
4.      Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan;
5.      diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan wajib Pajak (force majeur);dan
6.      surat keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
Dalam hal surat keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak belum memenuhi persyaratan dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf f, Wajib Pajak dapat menyampaikan perbaikan surat keberatan dengan melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan terlampaui. Namun demikian, dalam hal wajib Pajak menyampaikan perbaikan surat keberatan dalam jangka waktu 3 bulan, maka tanggal penyampaian perbaikan surat keberatan tersebut merupakan tanggal surat keberatan diterima.
Surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan. Atas surat keberatan seperti ini diberitahukan kepada Wajib Pajak bahwa surat keberatannya tidak memenuhi persyaratan sehingga tidak dipertimbangkan.
F.     Proses Keberatan
Permintaan Keterangan Oleh Wajib Pajak
Untuk keperluan pengajuan keberatan, Wajib Pajak dapat meminta kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memberi keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak atau penghitungan rugi. Direktur Jenderal Pajak wajib memberi keterangan yang diminta oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permintaan Wajib Pajak di terima.
Jangka waktu pemberian keterangan oleh Direktur Jenderal Pajak atas permintaan Wajib Pajak tersebut tidak menunda jangka waktu pengajuan keberatan.
Surat Pemberitahuan Untuk Hadir
Sebelum menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, Direktur Jenderal Pajak harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Untuk Hadir kepada Wajib Pajak guna memberi keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya. Jika Wajib Pajak tidak hadir pada waktu yang ditentukan dalam Surat Pemberitahuan Untuk Hadir, proses keberatan tetap diselesaikan tanpa menunggu kehadiran Wajib Pajak.
Sebelum Direktur Jenderal Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Untuk Hadir, hal-hal yang dapat dilakukan dalam proses penyelesaian keberatan adalah sebagai berikut :
1.      Direktur Jenderal Pajak meminta keterangan, data, dan/atau informasi tambahan dari Wajib Pajak;
2.      Wajib Pajak menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis untuk melengkapi dan/atau memperjelas surat keberatan yang telah disampaikan baik atas kehendak Wajib Pajak maupun dalam rangka memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak;
3.      Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka keberatan untuk mendapatkan data dan/atau informasi yang objektif yang dapat dijadikan dasar dalam mempertimbangkan keputusan keberatan.
Pencabutan Pengajuan Keberatan
Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sepanjang Surat Pemberitahuan Untuk Hadir belum disampaikan kepada Wajib Pajak.
Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan, Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP.
Data dan Informasi Yang Tidak Diberikan Pada Saat Pemeriksaan
Pembukuan, catatan, data, informasi atau keterangan lain yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan, kecuali pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain tersebut berada di pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak pada saat pemeriksaan.
G.    Keputusan
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, keberatan yang diajukan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan Wajib Pajak.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Apabila Wajib Pajak masih belum menerima keputusan keberatan dan masih merasa keberatan juga, Wajib Pajak masih dapat menempuh upaya hukum berikutnya yaitu dengan mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak sesuai Pasal 27 Undang-undang KUP.
H.    Ketentuan Teknis
Ketentuan yang lebih teknis tentang tatacara keberatan ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-49/PJ/2009 tanggal 7 September 2009 Tentang Tatacara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan.
I.       Permohonan Banding
Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan. Dengan demikian, proses pengajuan banding hanya dapat dilakukan apabila telah melalui proses keberatan.
Badan peradilan pajak yang dimaksud adalah Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002.
Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan.
J.      Gugatan
Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajakatau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
a.      Syarat Pengajuan Gugatan
1.            Harus diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima keputusan pelaksanaan penagihan, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
2.            Gugatan juga dapat diajukan selain atas keputusan pelaksanaan penagihan adalah dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterima keputusan yang digugat.
3.            Terhadap 1 (satu) keputusan pelaksanaan penagihan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan.
4.            Gugatan diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan pelaksanaan penagihan.
5.            Pada Surat Gugatan dilampirkan salinan keputusan pelaksanaan penagihan.
Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UU KUP, gugatan dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak kepada badan peradilan pajak. Badan peradilan pajak yang dimaksud adalah Pengadilan Pajak sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002.
Berbeda dengan permohonan banding, gugatan dilakukan terhadap :
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP; atau
penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
b.      Peninjauan Kembali
Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan Putusan Pengadilan Pajak
Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan :
Apabila Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda.
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada, yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 (1) b dan c UU Pengadilan Pajak;
Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
 Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Contoh Surat Keberatan yang memenuhi persyaratan formal :
Kasus :      
Dari pemeriksaan tahun 2005 fiscus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Pasal 21. hal ini karena menurut fiscus terdapat obyek PPh pasal 21 yang belum dilaporkan WP. Padahal selisih tersebut hanyalah karena adanya perbedaan periode yang digunakan dalam SPT Badan -Laporan keuangan (menggunakan tahun buku) dengan tahun takwim yang harus digunakan untuk SPT 1721.
Jawaban:
Jakarta, 10 Mei 2008
No. : 012
Lampiran : -
Hal : Permohonan Keberatan atas SKPKB PPh Pasal 21 No. A.0.12/KPP-Jakarta/V/2008 
Tgl 17 Maret 2008

Kepada Yth.
Direktorat Jenderal Pajak
Kantor Wilayah …………
Kantor Pelayanan Pajak …………
Alamat lengkap

U.P : Sie Penerimaan dan Keberatan.
Dengan Hormat,
Sehubungan dengan telah diterbitkannya SKPKB PPh Pasal 21 No. A.0.12/KPP-Jakarta/V/2008   tanggal 17 Maret 2008 Sebesar Rp. 1.000.000.000,- atas nama :
Nama Wajib Pajak : PT Mandar maju
NPWP : 9807436464
Alamat : JAKARTA

yang kami terima tanggal 20 Maret 2008 dengan perincian sebagai berikut :
Uraian : Jumlah (Rp) :
Dasar Pengenaan Pajak 3.000.000.000
PPh pasal 21 terutang 600.000.000
Setoran Masa & Tahunan 500.000.000
PPh 21 Kurang Bayar 100.000.000
Jumlah Pajak yang masih harus dibayar1.000.0000.0000

Bersama ini kami mengajukan Keberatan atas SKPKB PPh Pasal 21 No. A.0.12/KPP-Jakarta/V/2008 tersebut.
Adapun alasan kami mengajukan keberatan adalah :
1. Menurut Pemeriksa terdapat obyek PPh 21 yang belum dilaporkan dalam SPT PPh 21 yaitu sebagai berikut :
Jenis Obyek Jumlah (Rp)
Gaji 500.000.000
Tunjangan Lembur, dll 76.000.000
Premi Asuransi 83.000.000
THR 760.000
Total 659.760.000

2. Atas Biaya yang merupakan Obyek PPh 21 telah dipotong PPh 21 seluruhnya. Namun akibat perbedaan periode tahun buku yang dianut Wajib Pajak, sehingga terdapat perbedaan periode pembebanan biaya yang merupakan obyek PPh pasal 21 dalam Laporan Keuangan Vs SPT PPh Pasal 21. Rekonsiliasi Obyek PPh 21 berdasarkan SPT PPh Badan Vs SPT PPh 21 adalah sebagai berikut :
Keterangan Jumlah                                                                                     
1. Total Biaya Gaji dlm Lap Keuangan [Jul05 – Jun’06] Rp 3.000.000.000
2. Total Biaya Gaji dlm SPT 1721 th 2003 [Jan03 – Des03] Rp 2.000.000.000
3. Selisih Lap Keu Vs SPT 1721 Rp 1.000.000.000

dikurangi Biaya Gaji Jan – Jun’05 Rp 1.600.000.000
ditambah Biaya Gaji Jan – Jun’06 Rp 1.800.000.000
Koreksi Fiskal (BIK) th 2004/2005 Rp 300.000.000
Koreksi Fiskal (BIK) th 2005/2006 Rp 260.000.000
Total Rp 1.000.0000.0000

Menurut pendapat kami seharusnya atas SKP PPh pasal 21 tersebut adalah NIHIL.
Demikian permohonan kami, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.
Hormat Kami,
PT
Mandar Maju
     Rachmat
      Direktur


Contoh Surat Banding yang memenuhi ketentuan formal
Jakarta , 20 Agustus 2008
No : 024/2008
Lampiran : 11 Set
Hal : Permohonan Banding Atas Keputusan Keberatan atas SKPKB PPh
Pasal 21 No.
A.0.12/KPP-Jakarta/VIII/2008   tgl 10 Juli 2006 yang diterbitkan oleh KPP Mana.
Kepada Yth.
Badan Peradilan Pajak
Gedung D Departemen Keuangan Lt V-IX
Jalan Kalilio – Jakarta Pusat

Dengan hormat,
Bersama ini kami atas nama  :
Nama : PT
Suka Rame
NPWP :
9807436464
Alamat :
Jakarta
bermaksud mengajukan permohonan banding atas Surat Keputusan Keberatan Nomor …..tgl 10 Juli 2006 yang kami terima pada tanggal 2 Juli 2008 mengenai Keberatan atas SKPKB PPh Pasal 21 tahun 2001 Nomor A.0.12/KPP-Jakarta/VIII/2008  tanggal 24 Pebruari 2006.
Besarnya SKPKB PPh Pasal 21 tahun 2001 yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh KPP Mana adalah sebagai berikut :
Perhitungan tersebut diatas tetap dipertahankan dalam Surat Keputusan Keberatan.
Sedangkan PPh Pasal 21 tahun 2001 yang terutang menurut PT Suka Rame adalah :
Perbedaan perhitungan tersebut disebabkan adanya koreksi penambahan obyek PPh Pasal 21 yang tidak disetujui Wajib Pajak. Koreksi tersebut menurut Fiscus karena adanya pemberian kepada karyawan yang belum dilaporkan dalam ST Tahunan PPh Pasal 21. Wajib Pajak tidak menyetujui koreksi tersebut. Menurut wajib pajak semua Pembayaran kepada karyawan yang merupakan obyek PPh Pasal 21 telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21.
Adapun alasan kami mengajukan banding adalah karena :
1.      Permohonan Keberatan yang kami ajukan atas SKPKB PPh Pasal 21 tahun 2001 No.  A.0.12/KPP-Jakarta/VIII/2008 ditolak oleh KPP mana setelah melewati jangka waktu 12 bulan.
2.      Berdasarkan ketentuan pasal 26 ayat (1) Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, harus memberi keputusan atas Surat Keberatan yang diajukan Wajib Pajak.
3.      Wajib Pajak telah mengajukan Keberatan atas SKPKB PPh Pasal 21 ke KPP Mana pada tanggal 10 Maret 2006 (Photocopi surat keberatan terlampir).
4.      Sampai dengan tanggal 10 Maret 2007 Wajib Pajak belum mendapatkan keputusan atas keberatan yang telah diajukan sebelumnya.
5.      Berdasarkan ketentuan pasal 26 ayat (5) apabila jangka waktu dua belas bulan telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan wajib pajak dianggap diterima.
6.      Pada tanggal 2 Maret 2008 Wajib Pajak menerima Surat Keputusan Keberatan No ……..tertanggal 10 Desember 2006 yang memutuskan bahwa Direktur Jenderal Pajak MENOLAK Keberatan Wajib Pajak Dalam Surat Keputusan Keberatan tersebut tertulis bahwa, KPP menolak keberatan atas SKPKB PPh Badan, padahal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas SKPKB PPh Pasal 21.
7.      Berdasarkan Cap Pos yang tertera pada amplop KPP (sampul surat keberatan) yang diterima Wajib Pajak tertulis cap pos tanggal 27 Pebruari 2005
Sebelum mengajukan permohonan banding, kami juga telah melunasi SKPKB PPh Pasal 21 No. A.0.12/KPP-Jakarta/VIII/2008  tanggal 24 Pebruari 2006 (Photocopi SSP terlampir).
Untuk memenuhi persyaratan formal permohonan banding ini, bersama ini kami lampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut :
1. Salinan Surat Keputusan Keberatan No.
……. tanggal 10 Desember 2006.
2. Salinan SKPKB PPh Pasal 21 No
A.0.12/KPP-Jakarta/VIII/2008  tanggal 24 Pebruari 2006.
3. Salinan Surat Keberatan No ….. tanggal 10 Maret 2006 dan tanda terima surat keberatan.
4. Salinan SSP tanggal …….
5. Photocopi NPWP Wajib Pajak
6. Salinan Akta Pendirian PT Suka Rame dan Perubahannya.
7. Salinan Audit Report th 200
4 (Laporan Keuangan) PT Suka Rame .
8. Surat Kuasa Asli .

Demi kelancaran proses banding ini, kuasa hukum kami akan menghadiri persidangan untuk menyampaikan data-data dan dokumen pendukung lainnya, serta memberikan keterangan yang diperlukan selama proses banding berlangsung.
Demikian permohonan banding ini kami buat dengan harapan agar dapat dikabulkan. Atas Perhatian dan kerjasamanya kami mengucapkan terima kasih.
Hormat Kami,
PT Suka Rame
                                                                                                            
                                                                                                            Dwi Prahmana

Contoh Surat Gugatan
SURAT GUGATAN
Jakarta, 25 November 2008
Kepada
Yth.Ketua Pengadilan Pajak
Di Gedung “D” Departemen Keuangan RI,
Lantai 5 sampai 9
Jl. Dr. Wahidin No. 1 Jakarta
Hal : Gugatan
Dengan hormat,
PT. Darma Kencana Textile, beralamat di Wisma Standard Chartered Bank, Lt. 10 Jalan Jenderal Sudirman Kav. 33-A, Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat
Dengan ini memberi kuasa dengan hak substitusi kepada :
Fathur Rauzi, SH dan Karmal Maksudi, SH
Advokat dan Pengacara dari kantor Hukum Sholeh, Adnan & Associates( SA&a ), berkantor di jalan Ahmad Yani No. 110 Jakarta, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 19 November 2008 bertindak dan untuk atas nama PT. Darma Kencana Textile, selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT
Dengan ini mengajukan Gugatan terhadap :
 DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor. 40-42 Jakarta Selatan, dalam hal ini memberikan kuasa kepada :
1. Bambang Heru Ismiarso, Jabatan Direktur Keberatan dan Banding ;
2. Erma Sulistyarini, Jabatan Kepala Sub Direktorat Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding ;
3. Yurnalis RY, Jabatan Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Direktorat Keberatan dan Banding ;
4. Fitriyana, Jabatan Penelaah Keberatan, Direktorat Keberatan dan Banding, masing-masing menggunakan alamat Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta, sesuai dengan Surat Kuasa Khusus Nomor. SKU-95/PJ/2008 tanggal 19 November 2008 ;
Selanjutnya akan disebut dengan TERGUGAT.

0 Comments:

 

blogger templates 3 columns | Make Money Online