Nama
saya sebut saja Abdullah. Saya lahir pada 1975 di salah satu daerah di jawa
Tengah. Pada 1995 saya diterima di salah satu Universitas negeri di kawasan
jawa Timur, mengambil jurusan Pendidikan Fisika. Pada 1999 saya berhasil
menyelesaikan studi S-1 dengan prestasi memuaskan. Alhamdulillah, selama kuliah
saya mendapat berbagai piagam penghargaan dan gelar mahasiswa berprestasi
(semoga Allah menjauhkan saya dari kesombongan). Beberapa dosen pembimbing
menyarankan dengan sangat agar saya melanjutkan ke program master bidang studi
ilmu alam. Mereka melihat saya mempunyai potensi untuk itu. Saran ini sejalan
dengan cita-cita dan tekad saya.
Ternyata
bukan hanya tekad itu yang saya dapatkan selepas kuliah, namun calon istri yang
seusia dengan saya juga aktif di organisasi yang sama. Hanya saya baru
mengenalnya melalui guru ngaji saya. Sedangkan di kampus dan organisasi, saya
hanya mengenal namanya saja. Berbekal satu keyakinan yang mentap akhirnya saya
memutuskan melamar wanita sholihah ini.
Pada Ahad 6 Agustus 2000, kami pun melangsungkan
pernikahan, di usia 25 tahun. Alhamdulillah, pernikahan yang islami berhasil
kami selenggarakan. Walaupun bayak tantangan dari krluarga besar istri saya,
namun semuanya berjalan seperti yang kami harapkan. Istri saya anak kedua dari
tiga bersaudara, namun ia bagaikan berasal dari keluarga besar, karena semua
saudara rumahnya saling berdekatan.
Sejak menikah kami tinggal di rumah
orang tua istri di salah satu daerah di jawa Timur. Beberapa hari kemudian saya
menerima kabar permohonan beasiswa saya untuk melanjutkan studi ke jenjang
master diterima pemerintah. Tekad saya untuk melanjutkan pendidikan, menemukan
jalannya. Kesempatan berharga ini tak ingin saya sia-siakan. Setelah melalui berbagai
pertimbangan, saya memutuskan menerima beasiswa ini. Beberapa tawaran kerja,
salah satunya dengan gaji menggiurkan terpaksa saya tolak. Termasuk pekerjaan
sebagai guru di SMU yang sangat bonafit. Padahal untuk memperolehnya bukan hal
yang mudah kerena saya harus mengalahkan banyak saingan dalam tes.
Pada awalnya, istri saya sempat
bimbang dengan keputusan ini. Di satu sisi, ia senang saya dapat melanjutkan
kuliah. Namun di sisi lain, kami harus berpisah dulu. Saya terpaksa pergi tanpa
membawa serta dirinya, karena biaya hidup berdua akan terlalu besar dan belum
ada persiapan di perantauan. Akhirnya , dengan hati berat kami pun berpisah.
Walupun baru sepuluh hari menikah, istri yang belum begitu saya kenal terpaksa
saya tinggalkan, demi masa depan kami yang lebih baik. Buat kenyamanan hatinya,
ia saya tinggalkan di rumah orang tua kendungnya. Cita-citanya untuk kuliah
yang lebih tinggi, terpaksa kandas untuk sementara waktu, menunggu saya selesai
kuliah.
Pada Agustus 2000 saya pun pindah ke
salah satu daerah di Jawa Barat, melanjutkan studi pasca sarjana di sebuah Universitas,
mengambil jurusan Fisika, Konsentrasi Reaktor Nuklir dan Komputer Terapan. Hari
demi hari saya lalui dengan penuh semangat, walupun rasa rindu pada istri
bergelayut di hati. Saya tidak ingin pengorbanan ini sia-sia. Saya berpikir
jangka panjang bukan sekedar menerima hasil yang telah ada. Saya akui, saya
seorang yang idealis dan pekerja keras. Saya ingin bergelut dalam bidang yang
sesui dengan obsesi saya.
Lima bulan sudah saya berada di
perantauan. Selama itu saya dan istri berkomunikasi lewat telepon, dan saya
merasa kondisinya baik-baik saja. Tiba-tiba, saya mendapat kabar mengejutkan.
Salah seorang keluarganya menelpon, dan mengabarkan istri saya sakit dan saya
diminta pulang secepatnya. Saya sangat terkejut dan khawatir. Hari itu juga
saya berangkat pulang. Sepanjang perjalanan pikiran saya tidak karuan. Saya takut terjadi apa-apa
dengannya. Tak henti-hentinya saya berdoa, memohon Allah melindunginya.
Tiba di rumah orang tuanya, segera
saya temui dia. Namun, ia tengah tertidur lelap dengan wajah pucat dan badan
lemah. Wajahnya kelihatan menderita batin. Saya menciumnya dengan rasa kangen
yang amat sangat mendalam. dari ibunya saya ketahui, sudah beberapa hari ia
tidak mau makan. Nafsu makannya sama sekali hilang. Ibu juga menjelaskan, istri
saya menderita sakit aneh, seperti kena guna-guna. Selain mengeluh kepalanya
terasa berat, ia sering menjerit ketakutan seperti dikejar-kejar seseorang.
Pernah ia jatuh tergeletak dengan kepala terbentur tembok sewaktu berjalan ke
kamar mandi. Pernah juga ia muntah dengan leher seperti tercekik. Ia sering
takut melihat sesuatu yang berwarna hitam. Kesedihan saya bertambah mengetahui
kondisinya. Tugas-tugas kuliah pun langsung terlupakan.
Selama satu minggu saya di rumah,
istri tidak berubah keadaannya. Kondisinya belum membaik. Kadang-kadang ia
ngomong yang tidak karuan sambil dilanda ketakutan. Seringkali wajah
orang-orang tidak dikenalnya lagi. Melihat kedatangan saya pertama kali pun, ia
bersikap seakan saya orang jauh, bukan suaminya. Ia tidak mengenali saya lagi.
Melihat keadaannya, saya sempat kaget, dan mencurahkan isi hati pada Allah, Ya
Allah petaka apa ini ? Walaupun ia seorang muslimah, jika Engkau berkehendak
memberikan penyakit seperti ini siapa yang mampu menolaknya? Namun, walupun
hati ini sangat sedih, saya mencoba tetap tegar. Inilah ujian yang pertama
dalam pernikahan kami, dan saya harus berjuang melewatinya. Saya dan orang tua
istri pun bertekad merawatnya semampu kami.
Saat itu banyak saudara yang menduga
istri saya sakit akibat”kiriman”(guna-guna atau sihir) seseorang. Memang di
daerah istri saya, hal seperti ini sering tejadi. Beberapa dari mereka
menyarankan ia di bawa ke “orang pintar”. Tapi saya dan orang tua isteri sama
sekali tak setuju. Kami tidak ingin terkena bahaya kemusyirikan. Ketika
sakitnya bertambah parah, kami memutuskan membawanya ke salah satu Rumah Sakit
di Jawa Timur, untuk dirawat di bagian psikiatri.
Dalam hati saya berdoa, ya Allah
Seandainya Kuliah saya harus ditebus dangan kesembuhan orang yang saya cintai
ini, Niscaya saya memilih meninggalkan kuliah. Kesembuhan istri saya jauh lebih
penting. Apa artinya cita-cita saya jika ia menderita. Saya juga merasa
bersalah telah meninggalkannya hanya karena pertimbangan-pertimbangan rasional
saya. Sekarang ia terbujur sakit. Ia menaggung semua masalah berat sendirian,
tanpa saya disampingnya.
Di rumah sakit istri saya dirawat
selama sepuluh hari. Pada hari-hari pertama kondisinya berhasil membaik, namu
belakangan ia merasa tertekan dan minta pulang. Akhirnya atas rujukan dokter ia
dipindahkan ke sebuah rumah sakit islam di Jawa Tengah untuk rawat jalan. Maka
kami pun pergi ke sana. Selama dua minggu kami tinggal di rumah salah seorang
saudara, yang jaraknya dekat dengan Rumah Sakit itu. Saya berusaha merawatnya sebaik-baiknya,
dengan penuh kesabaran. Dan setelah pada awalnya ia sering tidak mengenali
saya, akhirnya seiring berjalannya waktu interaksi kami dapat berjalan baik.
Namun jika sedang tidak sadar, ia kadang berubah tidak menyukai saya.
Sewaktu menjalani perawatan di rumah
sakit itu, kami mendengar tentang seorang ustadz yang shalih, yang terbiasa
menangani orang yang terkena gangguan jin, setan, santet, guna-guna dan
lainnya. Selain itu beliau juga terbiasa meruqyah
rumah dari gangguan jin dan setan. Melalui pertolongannya dengan izin Allah
banyak pasien yang sembuh total, apalagi bila mereka berada dalam ketaqwaan.
Beliau jauh dari kemusyrikan dan hal lain yang di larang agama.
Akhirnya sambil rawat jalan di rumah
sait, saya membawa istri berobat pada
ustadz yang tinggal di salah satu daerah di Jawa Tengah ini. Selama dua minggu
berkutnya, kami rutin ke sana. Istri saya kelihatan cocok dengan sistem
pengobatannya yang islami. Kondisinya pun berangsur-angsur membaik. Namun
setiap menjelang maghrib menurut ustadz di waktu itulah terjadi pergantian
malaikan- jaga istri saya kambuh lagi sakitnya . sepertinya ada yang mengganggu
dia.
Sejak awal kami berobat ke ustadz
lulusan salah satu lembaga pendidikan di Madinah ini, ia mengatakan istri saya
terkena gangguan jin ditambah adanya beberapa sihir yang masuk ke dalam
tubuhnya. Hal ini diperparah lagi dengan berbagai masalah yang memang sudah ada
dalam pikirannya. Sebelum kami, juga ada seseorang yang dengan ijin Allah
berhasil disembuhkannya. Masyarakat awam juga bayak yang berobat dengan keluhan
bermacam-macam. Salah satunya yang berobat berbarengan dengan istri saya. Ia
seorang wanita yang disusupi jin dan disuruh membunuh serta berbuat nista.
Menurut ustadz yang bacaan Qur’an-nya
fasih ini, penyakit istri saya bisa menimpa semua orang. Apalagi bagi seseorang
yang sedang turun kondisi keimanannya. Rasulullah sendiri pernah sakit berat
akibat sihir seorang Yahudi. Masih menurut ustadz ini, sakit seperti istri saya
memang sulit disembuhkan secara medis saja. Tapi harus melalui terapi secara
agama, karena pada hakikatnya jin dan setan hanya takut pada Allah.
Pengobatannya harus melaui cara yang tidak melanggar aturan Allah, dan
ditangani oleh orang-orang yang shalih. Dalam sebuah buku diceritakan, ulama
besar Hasan Al-Banna juga terbiasa melakukan pengobatan seperti ini.
Hal lain yang membuat saya salut.
Ustadz ini tidak pernah mau memungut biaya dari para pasiennya. Beliau
melakukan semua itu hanya karena Allah, jauh dari niatan materi. Ustadz
mengobati istri saya dengan membaca ayat-ayat Al-Qura’an yang berhubungan
dengan sihir, jin, dan setan. Beliau jauga banyak membaca Al- Ma’tsurat, dan
menyuruh istri saya sering membaca beberapa ayat untuk perlingungan terhadap
jin, sihir, dan setan, dan memberikan ramuan kesehatan. Sebelum menjalin proses
pengobatan semua pasiennya harus dalam keadaan berwudhu.
Ketika kepala istri saya terasa
berat dan tangannya bergerak kajang, menurut ustadz jinnya sedang beraksi melawan ayat-ayat Allah. Keapala istri saya
yang terasa berat dijambak rambutnya (masih dalam keadaan berjilbab), supaya
rasa sait berkurang. Suatu ketika setelah diberi ramuan, istri saya muntah
dengan cairan penuh berwarna hiram. Menurut ustadz, sebagian jin telah keluar
melalui muntahan tadi.
Beliau juga meyuruh merendam tangan
istri saya ke dalam air garam sambil membaca ayat tertentu, karena tangan itu
terus menerus gemetar akibat adanya jin di telapaknya. Untuk mengkal sihir yang
mungkin masuk rumah, beliau menyuruh menyiram tiap sudut rumah dengan air garam
tadi. Ketika istri saya makan, setiap satu suapan harus membaca Basmallah. Dan
satu hal yang tidak boleh ditinggalkan, keharusan lebih mendekatkan diri kepada
Allah SWT.
Akhirnya, setelah dirawat selama dua
minggu dengan ijin Allah pada Januari
2001 istri saya sembuh total. Alhamdulullah tak terkira rasa syukur
kami. Tak lama kemudian, dengan penuh rasa bahagia, saya membawa istri pulang
kembali ke jawa Timur. Setelah ia sembuh saya baru tahu bahwa ia mengalami
banyak tekanan dari sana-sini, setelah kepergian saya dulu, ia sendirian
mengadapi “teror’ keluarga besarnya yang serba materialistis, yang memandang
bahwa anggota keluarga yang sudah menikah harus langsung hidup mapan, ia menghadapi
berbagai masalah yang bersifat rahasia yang tidak dapat diceritakan pada orang
lain. Sedangkan saya tidak berada di dekatnya. Menjelang sakinya ia juga mengalami
banyak peristiwa aneh. Diantarannya ia selalu dibuntuti dua orang laki-laki dan
perempuan yang berbaju hitam-hitam.
Setelah istri saya sembuh,
kadang-kadang dari sesama teman terdengar suara yang kurang mengenakkan seputar
sakitnya. Namun kami hanya berharap, semoga mereka menyadari bahwa kami adalah
manusia biasa, peristiwa apapun bisa saja terjadi, walaupun itu tidak
diharapkan. Husnudzhon sesama saudara sangat penting karena itulah yang akan
mempererat persaudaraan. Dan jika salah satu penyebab sakit istri saya akibat
“kiriman” seseorang. Saya berharap Allah akan mengampuninya.
Selama ia sakit sampai sembuh total
sekitar satu bulan lamanya, saya tak mnghiraukan kuliah. Saya juga tidak
mengikuti ujian. Namun saya tidak menyesal, bahkan jika kehilangan kesempatan
melanjutkan kuliah untuk seterusnya. Tapi sewaktu saya akhirnya menghubungi
kampus, ternyata para dosen memberikan kemudahan mengikuti ujian susulan. Atas
dukungan istri, saya pun mengikutinya. Alhamdulillah, saya bisa melewati ujian,
dan mencapai IP memuaskan.
Saat itulah saya dan istri sepakat,
saya harus melanjutkan kuliah, namun kami tak perlu berpisah lagi. Dalam diri
sendiri, telah tumbuh tekad untuk tidak lagi meninggalkan isteri saya. Di
semester baru pada bulan Februari 2001
saya pun memboyong istri untuk hidup bersama di perantauan. Dan
hikamhnya langsung terasa, saya menuntut ilmu dengan hati yang lebih tenang,
kerena didampingi istri tercinta.
Alhamdulillah, Allah memberikan saya
rezeki dan kemudahan. Tak lama, kami dapat mengontrak rumah sederhana beberapa
kilometer dari kampus. Bagi kami. Semua kejadian di masa lalu menjadi pelajaran
yang sangat berharga. Membuahkan satu hal penting, bahwa kami harus senantiasa
mengintropeksi diri dalam segala hal. Dan selalu lebih dekat dan lebih dekat
lagi dengan Allah SWT.
Kini saya hidup bahagia dengan istri
yang setia di samping saya. Kami bersama-sama menjalani hari-hari untuk
menggapai masa depan yang lebih baik, dengan senantiasa mengharapkan ridho
Allah. Semoga kelak ilmu saya berguna untuk Islam dan kaum muslimin. Dan semoga
kami senantiasa menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Diambil dari
bukuTARBAWI “Menuju Keshalihan Pribadi dan Umat”
Edisi 32 Th. 3/Murharram 1423 H/11
April 2002
0 Comments:
Post a Comment